Beranda | Artikel
Bagaimana Seorang Pegawai Menjaga Amanah?
Senin, 31 Januari 2022

Sifat amanah merupakan pondasi penting dalam pergaulan sesama manusia. Semua sisi pergaulan ( sesama manusia. Semua sisi pergaulan (mu’amalah) tak luput ) tak luput dari sifat amanah. Begitu pula dalam membangun kemitraan antara pekerja (pegawai) dengan pemilik pekerjaan (pimpinan), dituntut adanya pemeliharaan terhadap sifat (pimpinan), dituntut adanya pemeliharaan terhadap sifat amanah ini. Mengapa? Tulisan berikut membahas secara singkat sifat amanah ini, bagaimana keterkaitannya dengan seorang pegawai (pekerja). Naskah diadaptasi oleh Ustadz Muhammad Ashim Musthofa, dari kitab Kaifa Yu-addil Kaifa Yu-addil Muwazhzhaful-Amânah, karya Syaikh ‘Abdul-Muhsin al- karya Syaikh ‘Abdul-Muhsin al-Badr, Cet. I, Th. 1425 H – 2004 M, tanpa nama penerbit. Badr, Cet. I, Th. 1425 H – 2004 M, tanpa nama penerbit.

Semoga bermanfaat. (Redaksi).


SIFAT AMANAH MERUPAKAN PERINTAH AGAMA

Tidak lagi diperdebatkan bahwa menjaga amanah merupakan budi pekerti luhur. Amanah itu sendiri termasuk sifat universal. Artinya, sifat ini diterima semua pihak. Allah سبحانه وتعالى memasukkannya sebagai bagian karakter yang menonjol pada seorang mukmin hakiki.

Allah سبحانه وتعالى berfirman:

وَالَّذِيْنَ هُمْ لِاَمٰنٰتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُوْنَ ۙ

Dan orang-orang yang memelihara amanah-amanah (yang dipikulnya) dan janjinya. (Qs al- Mu’minun/23:8).

Pengertiannya, bila seseorang diberi amanah maka ia tidak mengkhianati, dan apabila berjanji tidak melanggarnya. Demikian ini merupakan sifat orang beriman, yang bertolak belakang dengan kebiasaan orang munafik. Sebagaimana tertuang dalam hadits shahih :

آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ

Tanda kemunafikan ada tiga; apabila berkata, ia dusta; apabila berjanji, ia mengingkari; dan apabila diberi amanah, ia berkhianat. (HR Muslim, no. 107).

Oleh karena itu, untuk membangun karakter yang baik ini, Allah سبحانه وتعالى dan Rasul-Nya ﷺ mengeluarkan perintah supaya kaum Muslimin menunaikan semua amanah yang diembannya, dan memperingatkannya dari berbuat khianat. Allah سبحانه وتعالى melarang perbuatan khianat dalam bentuk apapun.

Allah سبحانه وتعالى berfirman :

۞ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَمٰنٰتِ اِلٰٓى اَهْلِهَاۙ وَاِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ اَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ سَمِيْعًاۢ بَصِيْرًا

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Qs an-Nisâ‘/ 4:58).

Allah سبحانه وتعالى berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَخُوْنُوا اللّٰهَ وَالرَّسُوْلَ وَتَخُوْنُوْٓا اَمٰنٰتِكُمْ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kalian mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepada kalian, sedang kalian mengetahui. (Qs al-Anfâl/8:27).

Adapun perintah Rasulullah ﷺ yang menunjukkan mulianya sifat amanah ini, nampak dari larangan Rasulullah ﷺ terhadap kaum Muslimin agar tidak berkhianat, meskipun kita pernah dikhianati.

Rasulullah ﷺ bersabda:

أَدِّ الأَمَانَةَ إِلَى مَنْ ائْتَمَنَكَ وَلَا تَخُنْ مَنْ خَانَكَ

Tunaikanlah amanah kepada siapa yang telah menyerahkan amanah kepadamu. Dan janganlah engkau mengkhianati orang yang pernah berlaku khianat kepadamu. (HR Abu Dâwud 3535; at-Tirmidzi 1264, dan dishahîhkan oleh al-Albâni dalam ash-Shahîhah, 424).

Menurut Imam Ibnu Katsir t , pengertian secara umum pelaksanaan amanah dalam ayat di atas, ialah mencakup seluruh amanah yang wajibdipenuhi oleh seorang muslim. Yakni berupa hak-hak Allah سبحانه وتعالى yang menjadi kewajiban atas dirinya, seperti shalat, zakat, puasa, kaffarah, nadzar dan lainnya, atau hak-hak sesama manusia yang dipercayakan kepadanya, semisal barang titipan, meskipun tidak ada orang lain yang mengetahuinya. Allah سبحانه وتعالى memerintahkan agar semua itu dilaksanakan. Siapapun yang tidak menjalankannya di dunia ini maka Allah سبحانه وتعالى akan mengambil hak itu dari dirinya pada hari Kiamat kelak. (Kaifa, hlm. 4-5).

SATU DAYUNG, MERAIH GAJI SEKALIGUS MENUAI PAHALA

Seorang pegawai atau karyawan yang menjalankan pekerjaannya secara sungguh-sungguh seraya mengharapkan pahala dari Allah سبحانه وتعالى , hakikatnya telah menyelesaikan tanggung-jawabnya.

Gaji yang menjadi haknya dapat ia peroleh di dunia ini. Disamping itu, ia pun mendapat kabar gembira berupa pahala dari Allah. Ia terhitung sebagai timbangan amal baiknya di akhirat, disebabkan hatinya juga selalu mengharap pahala dari Allah asy-Syakûr (Yang Maha Bersyukur), yakni dengan upayanya untuk bekerja mencari rezeki. Terlebih lagi bagi seseorang yang sudah berkeluarga. Bekerja mencari rezeki merupakan pilihan dengan niat untuk menafkahi anggota keluarganya. Maka pahala yang besar telah ia peroleh, lantaran hasil jerih payah dan tetesan keringatnya untuk tujuan mulia, yaitu memberi nafkah kepada orang-orang yang ia kasihi.

Untuk menjelaskan kaitan syar’i dalam masalah di atas, Syaikh ‘Abdul-Muhsin al-’Abbâd mengutip tiga dalil berikut.

Firman Allah سبحانه وتعالى :

۞ لَا خَيْرَ فِيْ كَثِيْرٍ مِّنْ نَّجْوٰىهُمْ اِلَّا مَنْ اَمَرَ بِصَدَقَةٍ اَوْ مَعْرُوْفٍ اَوْ اِصْلَاحٍۢ بَيْنَ النَّاسِۗ وَمَنْ يَّفْعَلْ ذٰلِكَ ابْتِغَاۤءَ مَرْضَاتِ اللّٰهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيْهِ اَجْرًا عَظِيْمًا

Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar. (Qs an-Nisâ‘/4:114).

Abu Mas’ûd رضي الله عنه  meriwayatkan sebuah hadits dari Rasulullah ﷺ yang berbunyi:

إِذَ أَنْفَقَ الرَّجُلُ عَلَى أَهْلِهِ يَحْتَسِبُهَا فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ

Jika seorang lelaki menafkahi keluarganya sambil mengharap pahala-Nya, maka itu menjadi sedekah baginya. (HR. al-Bukhari, no. 55 dan Muslim, no. 1002).

Beliau ﷺ juga pernah menyampaikan kepada Sa’ad bin Abi Waqqash رضي الله عنه :

وَلَسْتَ تُنْفِقُ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلاَّ أُجِرْتَ بِهَا حَتَّى اللُّقْمَةَ تَجْعَلُهَا فِيْ اِمْرَأَتِكَ

Tidakkah engkau mengeluarkan nafkah yang engkau mengharap pahala dari Allah, kecuali engkau akan diberi pahala karenanya, bahkan (pada) suapan yang engkau masukkan ke mulut istrimu. (HR al-Bukhari, no. 5354, dan Muslim, no. 1628).

Menurut Syaikh ‘Abdul-Muhsin al-’Abbâd, nash-nash di atas menunjukkan jika seorang muslim sudah menunaikan yang menjadi kewajibannya kepada sesama, maka beban tanggung jawabnya sudah terpenuhi. Dan sekaligus pada waktu yang sama, ia akan memperoleh balasan dan ganjaran dari Allah, bila ia berniat ikhlas secara sungguh-sungguh mengharap wajah Allah سبحانه وتعالى .

JAM KERJA, JAM KERJA, HANYA UNTUK URUSAN KANTOR

Adalah menjadi kewajiban seorang pegawai untuk menggunakan jam kantornya (jam kerjanya) hanya untuk pekerjaan yang dipikulkan kepadanya. Karena, ketika seseorang melakukan akad untuk bekerja kepada pemilik pekerjaan, baik perseorangan, kantor, perusahaan, maupun lembaga tertentu, pada hakikatnya ia telah mengikat dirinya dengan pekerjaan yang dibebankan oleh pihak kantor. Atas dasar demikian, maka seorang pekerja tidak boleh melakukan pekerjaan yang bukan milik lembaga itu. Begitu pula, ia tidak boleh memanfaatkan waktu saat bekerja untuk kepentingan pribadi, atau kepentingan orang lain yang tidak ada kaitannya dengan inti pekerjaan.

Mengapa? Karena dengan akad tersebut, berarti waktu saat ia bekerja bukan milik sang pegawai dan pekerja itu lagi. Akan tetapi, menjadi milikpekerjaannya secara penuh. Yang dalam hal ini, ia telah dan akan menerima upah sebagai imbalannya.

Syaikh al-Mu’ammar al-Baghdadi (wafat 507 H) pernah menyampaikan masukan kepada Nizhâmul-Mulki yang menjabat sebagai menteri pada masanya. Di antara untaian nasihat beliau sebagai berikut. “Telah dimaklumi bersama, wahai pemuka Islam, bahwa setiap orang mempunyai pilihan dalam keinginan dan perbuatannya. Apabila mereka berkehendak maka akan meneruskannya. Dan bisa saja jika mereka mau, akan menghentikannya. Adapun orang-orang yang berada di bawah kekuasaan suatu lembaga (instansi), maka ia tidak mempunyai pilihan dalam keinginan maupun tindakannya. Sebab, barang siapa yang menjabat sebagai pemimpin rakyat, pada hakikatnya ia sebagai orang sewaan yang telah menjual waktunya dan mengambil upah (sebagai imbalannya). Maka, tidak tersisa lagi waktu siangnya untuk ia pergunakan sesuai dengan kemauannya. Ia tidak boleh melakukan shalat sunnah, i’tikaf (saat waktu kerjanya), karena semua itu hanya bersifat fadhilah (keutamaan tambahan) saja. Sedangkan pekerjaannya merupakan kewajiban yang harus ia kerjakan”. (Kaifa, hlm. 11- 12. Lihat Dzailu Thabaqâtil-Hanâbilah Ibnu Rajab, 1/ 107).

Sebagaimana seseorang ingin selalu menerima upahnya secara penuh dan tidak suka bila upahnya berkurang, meski hanya seribu rupiah, maka hendaklah ia tidak mengurangi waktu kerjanya untuk mengerjakan kesibukan di luar pekerjaannya. Dan sungguh Allah سبحانه وتعالى mencela orang-orang yang curang dalam takaran dan timbangan. Mereka meminta agar haknya dipenuhi, bahkan kalau bisa dilebihkan. Akan tetapi, pada waktu yang sama menyunat hak-hak orang lain, dan tidak mau memenuhinya.

Allah سبحانه وتعالى berfirman :

وَيْلٌ لِّلْمُطَفِّفِيْنَۙ الَّذِيْنَ اِذَا اكْتَالُوْا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُوْنَۖ وَاِذَا كَالُوْهُمْ اَوْ وَّزَنُوْهُمْ يُخْسِرُوْنَۗ اَلَا يَظُنُّ اُولٰۤىِٕكَ اَنَّهُمْ مَّبْعُوْثُوْنَۙ لِيَوْمٍ عَظِيْمٍۙ يَّوْمَ يَقُوْمُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعٰلَمِيْنَۗ

Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi. Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lainmereka mengurangi. Tidakkah orang-orang itu yakin, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan pada suatu hari yang besar? (Yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Rabb semesta alam. (Qs al-Muthaffifin/83:1-6).

Ayat di atas, sungguh menjadi teguran keras bagi para pegawai atau pekerja. Agar seorang pekerja selalu memenuhi kewajiban yang menjadi hak pemilik pekerjaan. Seorang pegawai, hendaklah menjaga sepenuhnya yang menjadi kewajibannya. Tidak memanfaatkan waktu saat bekerja untuk kepentingan yang bukan menjadi bagian pekerjaannya. Misalnya memanfaatkan waktu kerjanya, atau bahkan menghabiskannya untuk kluyuran di pasar, atau tempat lainnya, atau justru pulang ke rumah. Karena ini berarti mengurangi kewajibannya yang menjadi hak pemilik pekerjaan.

Tanpa disadari, dengan memanfaatkan waktu yang tidak terkait dengan pekerjaan, hakikatnya ia telah melakukan tindak korupsi, mengkhianati amanah. Korupsi itu sendiri tidak hanya menyangkut menilep uang negara, perusahaan, atau kantor. Akan tetapi, mengurangi jam kantor untuk keperluan pribadi termasuk dalam kategori korupsi “kecil-kecilan”. Begitu pula dengan pemandangan yang nampak di perkantoran-perkantoran, seperti “bersantai ria” tanpa melakukan aktifitas yang berkaitan dengan tugas dan tanggung jawabnya, maka cukuplah permulaan surat al-Muthaffifin ini menjadi sindirian bagi para pegawai tersebut.

Perbuatan ini sangat ironis, berlawanan dengan tuntutan sang pegawai yang menginginkan agar upah tetap diterima secara penuh. Tetapi giliran melakukan penyunatan waktu kerja dengan memanfaatkannya untuk urusan lain yang tidak ada kaitannya dengan pekerjaan, ia melakukannya tanpa beban, seolah dibolehkan. Kemudian ketika terdapat pengurangan upah, ia tidak menerimanya dan mengajukan keberatan.

MEMBERIKAN PELAYANAN TERBAIK DENGAN SEPENUH HATI

Setiap orang ingin mendapatkan pelayanan secara baik dari orang lain. Begitulah yang semestinya dilakukan oleh para pegawai kantor yang pekerjaannya melayani masyarakat. Oleh karena itu, ia dituntut memberikan pelayanan secara baik kepada orang lain yang membutuhkan bantuannya.

Rasulullah ﷺ bersabda:

فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُزَحزَحَ عَنْ النَّارِ وَيُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَلْتَأْتِهِ مَنِيَّتُهُ وَهُوَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ وَلْيَأْتِ إِلَى النَّاسِ الَّذِيْ يُحِبُّ أَنْ يُؤْتَى إِلَيْهِ

Barang siapa suka untuk dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka hendaknya (ketika) ajal mendatanginya, ia dalam keadaan beriman kepada Allah dan hari Akhirat dan bergaul dengan manusia dengan cara yang ia suka diperlakukan dengannya. (HR Muslim 1844).

Makna hadits di atas, perlakukanlah manusia dengan cara yang engkau menyukai mereka memperlakukanmu dengan cara tersebut. (Kaifa, hlm. 19). Jika engkau senang seseorang memperlakukanmu dengan baik, maka begitulah manusia pada umumnya ingin mendapatkan pelayanan yang baik pula darimu.

Oleh karena itu, dengan spirit yang terkandung dalam hadits mulia ini, hendaklah seorang pegawai mempermudah dalam melayani masyarakat. Timbulnya ungkapan jika bisa dipersulit, mengapa harus dipermudah? Atau kalau rela dan bisa dimintai “dana tambahan”, mengapa tidak? Ungkapan seperti ini menunjukkan adanya gambaran rusaknya mental sebagian pegawai di kantor-kantor, apalagi di tempat-tempat yang dikenal sebagai “lahan basah”. Padahal kewajiban sebagai seorang pegawai ialah melayani kepentingan masyarakat secara baik. Bahkan mental demikian ini bisa menunjukkan tingkat keimanan seseorang.

لَايُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

Tidaklah beriman salah seorang dari kalian, sehingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia sukai bagi dirinya sendiri. (HR al-Bukhari, 13, dan Muslim, no. 45, dari sahabat Anas).

MENDAHULUKAN ORANG YANG PERTAMA DATANG

Seorang pegawai kantor, baik pegawai pemerintah maupun lembaga lain yang bersinggungan dengan kepentingan publik, dalam melayani kepentingan masyarakat harus bersikap adil. Salah satu yang menunjukkan indikasi sikap adil, yaitu melayani berdasarkan urutan kehadiran. Siapa pun yang datang lebih awal, dialah yang lebih berhak didahulukanuntuk mendapatkan pelayanan. Sehingga bukan justru mengutamakan orang berdasarkan tingkat sosial, kekayaan atau standar lainnya. Nilai positif dari pelayanan yang adil ini, akan menumbuhkan ketenangan, baik bagi diri pegawai maupun masyarakat yang membutuhkan pelayanan.

Ada sebuah hadits yang menyiratkan aturan di atas. Dari Abu Hurairah, ia berkata: Tatkala Nabi ﷺ berada dalam sebuah majelis menyampaikan hadits kepada suatu kaum, datanglah seseorang dari dusun.

Ia bertanya: “Kapan hari Kebangkitan?”

Rasulullah ﷺ tetap saja berlalu menyampaikan pembicaraan, maka sebagian orang berkata: “Beliau mendengar ucapannya, tetapi tidak suka terhadap ucapannya”.

Sebagian lain berkomentar: “Beliau bahkan tidak mendengarnya”.

Tatkala telah selesai menyampaikan pembicaraan, beliau ﷺ berkata: “Dimana saya bisa melihat orang yang bertanya tentang hari Kebangkitan (tadi)?”

Orang Arab pedalaman itu pun berseru: “Saya di sini, wahai Rasulullah!”

Beliau ﷺ menjawab: “(Yaitu) ketika amanah ditelantarkan, maka tunggulah hari Kebangkitan”.

Orang Arab pedalaman itu bertanya (lagi): “Bagaimana wujud ditelantarkannya?”

Beliau ﷺ menjawab: “Apabila suatu urusan diserahkan kepada selain ahlinya, maka tunggulah hari Kebangkitan”. (HR al-Bukhari no. 59).

Dalam hadits di atas, Rasulullah ﷺ tidak langsung menjawab pertanyaan orang Arab pedalaman itu tentang hari Kebangkitan, kecuali setelah selesai dari pembicaraan bersama dengan orang-orang yang terlebih dulu hadir darinya.

Al-Hafizh Ibnu Hajar mengambil pelajaran dari hadits di atas, bahwasanya Rasulullah ﷺ memberikan pelajaran kepada orang yang lebih dahulu datang. Demikian pula dalam memerikan fatwa, keputusan hukum dan persoalan serupa lainnya.

TIDAK MENERIMA SUAP!

Sudah menjadi kewajiban setiap pegawai untuk menjaga kehormatan dirinya, berjiwa besar, serta menjauhkan diri dari memakan harta manusia dengan cara batil, seperti suap, walaupun si pemberi menamakannya sebagai hadiah, bingkisan, atau uang jasa, atau ungkapan terima kasih.

Dalam Islam, menerima suap dalam bentuk apapun tidak diperbolehkan. Karena dengan menerima suap, berarti ia telah memakan harta orang lain dengan cara batil. Perbuatan ini tentu menimbulkan dampak buruk. Di antaranya, doanya tidak dikabulkan oleh Allah سبحانه وتعالى .

Dalam Shahîh Muslim no. 1015, dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda, yang artinya:

Wahai sekalian manusia. Sesungguhnya Allah itu Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik. Dan sungguh Allah telah memerintah kaum Mukminin dengan apa yang Dia perintahkan kepada para rasul. Allah berfirman : “Hai para rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik dan kerjakanlah amal yang shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan”. -Qs al-Mu’minun/23 ayat 51- “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu …” –Qs al-Baqarah/2 ayat 172- kemudian beliau ﷺ menyebut kan seorang lelaki yang berada di perjalanan yang sangat jauh, rambutnya tidak terurus lagi penuh dengan debu. Ia menengadahkan tangannya ke langit, (sembari berdoa): “Wahai, Rabbku! Wahai, Rabbku!”, sedangkan makanannya dari barang haram, minumannya haram, pakaiannya dari yang haram, dan ia tumbuh dari yang haram. Bagaimana mungkin doa(nya) dikabulkan?

Peringatan lainnya dalam permasalahan ini, yaitu sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 7152 dalam Shahîh-nya dari Jundub bin ‘Abdillah, Rasulullah ﷺ berkata:

إِنَّ أَوَّلَ مَا يُنْتِنُ مِنْ الإِنْسَانِ بَطْنُهُ فَمَنْ اسْتَطَاعَ أَنْ لَا يَأْكُلَ إِلَّا طَيِّبًا فَلْيَفْعَلْ

Sesungguhnya, yang pertama kali membusuk dari manusia (setelah meninggal) ialah perutnya. Maka barang siapa mampu tidak makan kecuali yang baik-baik, maka hendaklah ia lakukan.

Imam Muslim juga meriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi ﷺ , bahwasanya beliau ﷺ bersabda:

لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لَا يُبَالي الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ أَمِنْ حَلَالٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ

Sungguh akan datang kepada manusia suatu zaman, yang seseorang tidak lagi memperdulikan harta yang ia ambil, apakah dari yang halal atau dari yang haram! (HR al-Bukhari, 2083).

Pada zaman yang dilukiskan Rasulullah ﷺ tersebut, banyak manusia yang nantinya menganggap barang halal, ialah barang yang telah berada dalam genggamannya. Adapun yang haram, karena belum sampai kepadanya. Ukuran ini tentu sangat berbeda dengan yang ditetapkan syari’at Islam. Karena menurut Islam, barang halal ialah yang dihalalkan oleh Allah سبحانه وتعالى dan Rasul-Nya, sedangkan barang haram ialah segala sesuatu yang telah diharamkan oleh Allah سبحانه وتعالى dan Rasul-Nya.

Dalam beberapa hadits lainnya, terdapat keterangan berupa larangan terhadap para pegawai untuk mengambil apapun, baik berbentuk hadiah maupun lainnya dari pihak lain, kendati pun sebagai tanda terima kasih. Misalnya, dari orang-orang yang merasa dibantu dengan pelayanan dari pegawai itu.

Abu Humaid as-Sa’idi meriwayatkan:

Rasulullah ﷺ mempekerjakan seseorang yang bernama Ibnul-Lutbiyyah dari (Bani) Asad untuk memungut zakat sebagaimana terdapat dalam riwayat al-Bukhari, no. 7174, dan Muslim, no. 1832. Ketika datang, ia (Ibnul-Lutbiyyah) berkata: “ Ini untuk kalian dan ini dihadiahkan untukku”.

Mendengar penuturannya, maka Rasulullah kemudian berdiri di atas mimbar lalu menyanjung Allah dan memuji-Nya. Kemudian beliau ﷺ berkata: “Bagaimana bisa ada seorang petugas yang aku perintahkan (memungut zakat) lalu ia berkata ‘ini untuk kalian dan ini dihadiahkan bagiku?’ Tidakkah ia berada di rumah ayah atau rumah ibunya saja, untuk menunggu apakah ia akan memperoleh bingkisan (seperti itu) atau tidak? Demi jiwa Muhammad yang berada di tangan-Nya, tidak seorang pun yang memperoleh dari (jalan) itu kecuali ia akan datang dengannya pada hari Kiamat dalam keadaan menyandangnya di atas lehernya, apakah itu onta yang bersuara atau sapi yang melenguh, atau kambing yang mengembik,” kemudian beliau mengangkat kedua tangannya hingga kami melihat bulu ketiaknya, lantas beliau berkata: “Ya, Allah. Apakah aku telah menyampaikan? (dua kali)”.

PIMPINAN, CERMIN KETELADANAN DAN KEMALASAN

Menjaga amanah dalam bekerja tidak hanya menjadi kewajiban pekerja, pegawai atau bawahan saja, tetapi juga harus dijaga oleh pimpinan selaku pemberi tugas (pekerjaan). Karena pekerja yang sudah baik, tetap membutuhkan keteladanan dari para pimpinan. Para pimpinan mempunyai andil dalam mempengaruhi etos kerja bawahannya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Apabila para pejabat teras di sebuah instansi menegakkan kewajibannya dengan baik dan sempurna, maka otomatis mereka menjadi cermin keteladanan bagi para bawahan. Tetapi sebaliknya, jika mereka tidak bekerja dengan baik, maka tanpa disadari, mereka turut andil menurunkan etos kerja bawahannya, bahkan sangat mungkin bawahannya bersikap pasif dan apatis.

Oleh karena itu, setiap pemimpin harus menyadari bahwa pertanggungjawaban seorang pemimpin tidak hanya di dunia ini, tetapi juga di akhirat nanti. Rasulullah ﷺ bersabda, yang artinya:

Setiap dari kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya. Seorang ‘amir yang memimpin manusia adalah pemimpin mereka dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas tugas kepemimpinannya. Seorang lelaki adalah pemimpin bagi keluarganya dan dia akan dimintai pertanggungjawabannya. Dan seorang wanita adalah pemimpin bagi rumah suaminya dan anaknya akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang budak pemimpin pada harta tuannya dan ia akan dimintai pertanggungjawaban tentang itu, ingatlah bahwa setiap dari kalian adalah pemimpin dan setiap dari kalian akan dimintai pertanggungjawaban mengenai kepemimpinannya (HR. al-Bukhari, 2554, dan Muslim, 1829, dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar).

Semoga Allah memberikan taufik kepada kaum Muslimin, terutama orang-orang yang sedang menerima amanat, agar mereka mampu melaksanakannya dengan cara-cara yang dapat mendatangkan keridhaan Allah dan keberkahan dari-Nya.

 

Majalah As-Sunnah Edisi Ramadhan (06-07)/Tahun XI/1428H/2007M


Artikel asli: https://majalahassunnah.net/artikel/bagaimana-seorang-pegawai-menjaga-amanah/